رياض الصالحين RIADHUS SHALIHIN (1): Taubat 9. Peperangan Tabuk

Print Friendly, PDF & Email

Assalamualaikum.
Lama saya tidak kongsikan hadith daripada kitab Riadhus Shalihin. Bukannya apa, hadithnya panjang sangat (kena copy sebanyak lima muka surat……) Ya Allah lemahnya iman umat akhir zaman ye. Malu saya. Bagaimanakah agaknya ulama terdahulu boleh menghafaz beratus ribu hadith? MasyaAllah……..

Inilah hadith yang saya maksudkan itu:



Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik dan dia (Abdullah) adalah pembimbing Ka’ab رضي الله عنه dari golongan anak-anaknya ketika Ka’ab iaitu (ayahnya itu) sudah buta matanya. Katanya: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik رضي الله عنه menceriterakan perihal peristiwanya sendiri ketika membelakang (tidak mengikuti) Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam peperangan Tabuk.”

Ka’ab رضي الله عنه berkata: “Saya tidak pernah membelakang (tidak mengikuti) Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam suatu peperangan pun kecuali dalam peperangan Tabuk. Hanya saja saya juga pernah tidak turut serta dalam peperangan Badar, tetapi baginda صلى الله عليه وسلم tidak mengolok-olokkan seseorang pun yang tidak mengikuti baginda dalam peperangan Badar tersebut.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم keluar bersama kaum muslimin menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah تعالى mengumpulkan antara mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak ditentukan. Saya juga ikut menyaksikan bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada malam ‘Aqabah saat kita berjanji saling memperkukuhkan Islam dan saya tidak senang andaikata tidak mengikuti malam ‘Aqabah itu sekalipun umpamanya saya ikut menyaksikan peperangan Badar dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu lebih termasyhur sebutannya dikalangan orang ramai daripada malam ‘Aqabah tadi.

Perihal keadaanku ketika saya tidak mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam peperangan Tabuk ialah bahwa saya sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah mengumpulkan dua buah kenderaan sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang untuk peperangan ini saya dapat menyediakan kedua-duanya. Tidak pula Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu menghendaki suatu peperangan, melainkan tentu baginda berniat pula dengan peperangan yang berikutnya sehingga sampai terjadinya peperangan Tabuk. Rasulullah صلى الله عليه وسلم berangkat dalam peperangan Tabuk itu dalam keadaan yang sangat panas dan menghadapi suatu perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah yang sukar memperolehi air dan tentulah pula akan menghadapi musuh yang jumlahnya amat besar sekali.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم kemudian menguraikan maksudnya itu kepada seluruh kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap untuk menyediakan perbekalan peperangan mereka. Baginda صلى الله عليه وسلم mengumumkan kepada mereka tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu ramai sekali, tetapi mereka itu tidak didaftarkan dalam sebuah buku yang terpelihara.” Maksud Ka’ab رضي الله عنه ialah adanya buku catatan yang berisi daftar nama mereka sekalian.

Ka’ab berkata: “Maka sedikit sekali orang yang ingin untuk tidak menyertai peperangan tadi, melainkan mereka juga menyangka bahwa dirinya akan tersamarkan, selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah تعالى maksudnya kerana ramainya orang yang menyertai peperangan Tabuk, maka orang yang berniat tidak mengikuti tentu tidak akan diketahui oleh siapapun sebab catatannya pun tiada.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم berangkat dalam peperangan Tabuk itu tatkala buah-buahan sedang ranum dan naungan-naungan di bawahnya sedang nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali pada buah-buahan serta naungan itu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersiap-siap dan sekalian kaum Muslimin juga demikian. Saya mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula dengan baginda صلى الله عليه وسلم, tetapi saya berlengah-lengah lagi sedangkan tiada sesuatu urusan pun yang saya selesaikan, hanya dalam hati saya berkata bahwa saya dapat berangkat pada waktu yang saya inginkan. Hal yang sedemikian itu selalu saja mengulur-ulurkan waktu persiapanku, sehingga orang-orang giat sekali untuk mengadakan perbekalan mereka, sedangkan saya sendiri belum ada persiapan sedikitpun.

Kemudian saya pergi lagi lalu kembali pula dan tidak pula ada sesuatu urusan yang dapat saya selesaikan. Keadaan sedemikian ini terus-menerus menyebabkan saya menunda-nundakan waktu keberangkatanku, sehingga orang-orang banyak telah bergegas-gegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti peperangan itu. Saya bermaksud akan berangkat kemudian dan selanjutnya tentu dapat menyusul mereka yang berangkat terlebih dahulu. Alangkah baiknya sekiranya maksud itu saya laksanakan, tetapi kiranya yang sedemikian tadi tidak ditakdirkan untuk dapat saya kerjakan. Dengan begitu maka setiap saya keluar bertemu dengan orang ramai setelah berangkatnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu, keadaan sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku, kerana saya mengetahui bahwa diriku itu hanyalah sebagai suatu tontonan yang dapat dituduh melakukan kemunafikan atau hanya sebagai seseorang yang dianggap beruzur oleh Allah تعالى kerana termasuk golongan kaum yang lemah – tidak berupaya mengikuti peperangan.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم kiranya tidak mengingat akan diriku sehingga baginda sampai di Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba bertanya: “Apa yang dilakukan oleh Ka’ab bin Malik?” Seorang dari golongan Bani Salimah menjawab: “Ya Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya yang permai pandangannya.” Kemudian Mu’az bin Jabal رضي الله عنه berkata: “Buruk sekali yang kau katakan itu. Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka’ab itu kecuali yang baik-baik saja.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم berdiam diri. Ketika baginda صلى الله عليه وسلم dalam keadaan seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan pakaian serba putih yang digerak-gerakkan oleh fatamorgana – sesuatu yang tampak semacam air dalam keadaan yang panas terik di padang pasir.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Engkaukah Abu Khaitsamah?”Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari dan ia adalah yang pernah bersedekah dengan sesha’ kurma ketika dicaci oleh kaum munafikin. Ka’ab berkata selanjutnya: “Setelah ada berita yang sampai di telingaku bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah pulang kembali dengan kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai mengingat-ingat bagaimana sekiranya saya berdusta – untuk mengada-adakan alasan tidak mengikuti peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya dapat terhindar daripada kemurkaan baginda esok sekiranya Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah tiba. Saya pun meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah diberitahukan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari jiwaku (keinginan berdusta) sehingga saya mengetahui bahwa saya tidak dapat menyelamatkan diriku daripada kemurkaan baginda itu dengan sesuatu apa pun untuk selama-lamanya.

Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan secara sebenarnya belaka. Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu apabila kembali dari musafir, tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian bersembahyang dua rakaat, kemudian duduk di hadapan orang ramai. Setelah Rasulullah صلى الله عليه وسلم melakukan yang sedemikian itu, maka datanglah kepada baginda orang-orang yang tidak mengikuti peperangan untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam mengemukakan alasan-alasan mereka itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada lapan puluh lebih – tiga sampai sembilan. Baginda صلى الله عليه وسلم menerima alasan-alasan yang mereka kemukakan secara terus terang itu, juga membai’at (meminta janji setia) mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang tersimpan dalam hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah تعالى.

Demikianlah sehingga saya pun datanglah menghadap Baginda صلى الله عليه وسلم itu. Setelah saya mengucapkan salam kepadanya, baginda tersenyum bagaikan senyumnya orang yang murka, kemudian bersabda: “Kemarilah!” Saya mendatanginya sambil berjalan sehingga saya duduk di hadapannya, kemudian baginda صلى الله عليه وسلم bertanya kepadaku: “Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal bukankah engkau telah membeli unta untuk kenderaanmu?” Ka’ab berkata: “Saya lalu menjawab: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi selain Tuan dari golongan ahli dunia, nescayalah saya berpendapat bahwa saya akan dapat keluar daripada kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan. Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa andai kata saya memberitahukan kepada Tuan dengan suatu ceritera bohong pada hari ini yang Tuan akan merasa rela dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir akan memurkai Tuan kerana perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya memberitahukan kepada Tuan dengan cerita yang sebenarnya yang dengan demikian itu Tuan akan murka atas diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah menginginkan pengakhiran yang baik dari Allah عز وجل. Demi Allah, saya tidak uzur sedikitpun – sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya itu, yakni di waktu saya membelakang daripada Tuan -sehingga jadi tidak ikut berangkat.”

Ka’ab berkata: ” Rasulullah صلى الله عليه وسلم lalu bersabda: Tentang orang ini, maka pembicaraannya memang benar – tidak berdusta. Oleh sebab itu bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu.” Ada beberapa orang daripada golongan Bani Salimah yang berjalan mengikuti jejakku, mereka berkata: “Demi Allah, kita tidak menganggap bahwa engkau telah pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang yang ketinggalan yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah صلى الله عليه وسلم memohonkan keampunan kepada Allah untukmu.

Ka’ab berkata: “Demi Allah, tidak henti-hentinya orang-orang itu mengolok-olokkan diriku – kerana menggunakan cara yang dilakukan sebagaimana di atas yang telah terjadi itu – sehingga saya sekali hendak kembali saja kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم – untuk mengikuti cara orang-orang Bani Salimah itu, agar saya mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata kepada orang-orang itu: “Apakah ada orang lain yang menghadapi peristiwa seperti saya?” Orang-orang itu menjawab: “Ya, ada dua orang yang menghadapi
keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan – oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم – sebagaimana kata-kata yang diucapkan kepadamu.”

Ka’ab berkata: “Siapakah kedua orang itu?” Orang-orang menjawab: “Mereka itu ialah Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.”

Ka’ab berkata: “Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang shahih dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh – dalam keberanian dan lain-lain.” Ka’ab berkata: “Saya pun lalu terus pergi di kala mereka telah selesai menyebut-nyebut tentang kedua orang tersebut di atas di hadapanku.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kita kaum Muslimin untuk bercakap-cakap dengan Ketiga-tiga orang di antara orang-orang yang tidak mengikuti peperangan Tabuk itu.”Ka’ab berkata: “Orang-orang semua menjauhi kita,” dalam riwayat lain dia berkata:”Orang-orang sama sekali berubah sikap terhadap kita bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya. Kita bertiga berhal demikian itu selama lima puluh malam lima puluh hari.

Dua orang kawan saya itu kedua-duanya menetap di rumah saja dan selalu duduk-duduk sambil menangis. Tentang saya sendiri, maka saya adalah yang termuda di kalangan mereka bertiga dan lebih tahan mengdapi ujian. Oleh sebab itu saya pun keluar serta menyaksikan solat jamaah bersama kaum muslimin lain-lain dan juga suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tiada seorang pun yang mengajak saya berbicara. Saya pernah mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan mengucapkan salam padanya dan beliau ada di majlisnya sehabis solat, kemudian saya berkata dalam hatiku, apakah baginda menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah tidak. Selanjutnya saya bersembahyang dekat sekali pada tempatnya itu dan saya mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya mulai mengerjakan shalat, beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh padanya, baginda pun memalingkan mukanya daripada memandangku.

Demikian halnya, sehingga setelah terasa amat lama sekali penyeteruan kaum muslimin itu terhadap diriku, lalu saya berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu Qatadah رضي الله عنه. Dia adalah sepupuku dan dia adalah orang yang paling aku kasihi berbanding orang-orang lain. Saya memberikan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: “Hai Abu Qatadah, saya hendak bertanya kepadamu kerana Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya ini mencintai Allah dan RasulNya صلى الله عليه وسلم?” Dia diam saja, lalu saya ulangi lagi dan bertanya sekali iagi padanya, dia pun masih diam saja. Akhirnya saya ulangi lagi dan saya menanyakannya sekali lagi, lalu dia berkata: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui tentang itu.” Oleh sebab jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku dan saya meninggalkannya sehingga saya menaiki dinding rumah tadi.

Di kala saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada seorang petani dari golongan petani negeri Syam (Palestin), yaitu dari golongan orang-orang yang datang dengan membawa makanan yang hendak dijualnya di Madinah, lalu orang itu berkata: “Siapakah yang suka menunjukkan, manakah yang bernama Ka’ab bin Malik.” Orang-orang lain sama menunjukkannya kearahku, sehingga orang itupun mendatangi tempatku, kemudian
menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan yang beragama Kristian. Saya memang orang yang pandai menulis, maka surat itupun saya baca, tiba-tiba isinya adalah sebagai berikut: “Amma ba’d. Sebenarnya telah sampai berita pada kami bahwa sahabatmu iaitu Muhammad صلى الله عليه وسلم telah menyeteruimu. Allah tidaklah menjadikan engkau untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan hak-haknya. Maka dari itu susullah kami – maksudnya datanglah di tempat kami – maka kami akan menggembirakan hatimu.”

Kemudian saya berkata setelah selesai membacanya itu: “Ah, inipun juga termasuk bencana pula,” lalu saya menuju ke dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya. Selanjutnya setelah lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh hari, sedang waktu agak terlambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku seorang utusan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم, terus berkata: “Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan padamu supaya engkau menjauhi isterimu.” Saya bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya ataukah apa yang harus saya lakukan?” Dia berkata: “Tidak usah menceraikan, tetapi menjauhinya, jadi jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga mengirimkan utusan kepada kedua sahabat saya yang senasib di atas sebagaimana yang dikirimkannya padaku.

Oleh sebab itu lalu saya berkata pada isteriku: “Susullah dulu keluargamu (pergilah ke tempat kedua orang tuamu.) Tinggallah bersama mereka sehingga Allah akan menentukan bagaimana seterusnya.” Isteri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu berkata pada beliau: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya sebatang kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah Tuan juga tidak senang andaikata saya tetap melayaninya?” Baginda صلى الله عليه وسلم menjawab: Tidak, tetapi jangan sekali-kali dia mendekatimu (jangan tidur denganmu).” Isterinya berkata lagi: “Sesungguhnya Hilal itu demi Allah, sudah tidak mempunyai gerak sama-sekali pada sesuatupun dan demi Allah, dia senantiasa menangis sejak terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini.”

Sebagian keluargaku berkata kepadaku: “Alangkah baiknya sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam persoalan isterimu itu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga telah mengizinkan kepada isteri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.” Saya berkata: “Saya tidak akan meminta izin untuk isteriku itu kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sekiranya saya meminta izin kepada baginda perihal isteriku itu iaitu supaya boleh tetap melayani diriku? Saya adalah seorang yang masih muda.” Saya tetap berkeadaan sebagaimana di atas itu (tanpa isteri di sisi).

Selama sepuluh malam sepuluh hari maka telah genaplah jumlahnya menjadi lima puluh hari sejak kaum muslimin dilarang bercakap-cakap dengan kami.

Selanjutnya saya bersembahyang Subuh pada pagi hari kelima puluh itu di muka rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di kala saya sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah تعالى perihal diri kami bertiga sedang dipulaukan, jiwaku terasa amat sempit sedang bumi yang luas terasa amat kecil, tiba-tiba saya mendengar suara teriakan seseorang yang berada di atas gunung Sala’ (sebuah gunung di Madinah), dia berkata dengan suaranya yang amat keras: “Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Setelah mendengarkan itu, saya pun segera bersujud syukur dan saya meyakini bahwa telah ada kelapangan yang datang untukku.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah memberitahukan pada orang ramai bahwa taubat kita bertiga telah diterima oleh Allah عز وجلّ, iaitu di waktu baginda bersembahyang Subuh. Maka orang-orang pun menyampaikan berita gembira itu kepada kami dan ada pula pembawa-pembawa berita gembira itu yang mendatangi kedua orang sahabat yang senasib denganku. Ada seorang yang dengan cepat-cepat memacu kudanya serta bergegas-gegas menuju ke tempatku dari golongan Aslam, namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Dia mendaki gunung dan suaranya itu kiranya lebih cepat terdengar olehku daripada datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang padaku iaitu orang yang kudengar suaranya tadi, dia pun memberikan berita gembira kepadaku, kemudian saya melepaskan kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk dipakai sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya itu.

Demi Allah, saya tidak mempunyai pakaian selain keduanya tadi pada hari itu. Maka saya pun meminjam dua helai baju daripada orang lain lalu saya pakai dan terus berangkat menuju ke tempat Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Orang-orang menyambut kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok menyatakan ikut gembira kepadaku sebab taubatku yang telah diterima. Mereka berkata: “Semoga gembiralah hatimu kerana Allah telah menerima taubatmu itu.” Demikian akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah صلى الله عليه وسلم sedang duduk dan di sekelilingnya ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah رضي الله عنه lalu berdiri cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku. Demi Allah tidak ada seorangpun daripada golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah itu. Oleh sebab itu Ka’ab tidak akan melupakan peristiwa itu untukTalhah.

Ka’ab berkata: “Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم beliau tampak berseri-seri wajahnya kerana gembiranya lalu bersabda: “Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang tidak pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu. “Saya bertanya: “Apakah itu datangnya dari sisi tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?” Baginda صلى الله عليه وسلم menjawab: “Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah عز وجل”. Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu apabila gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah,seolah-olah wajahnya itu adalah bulan purnama, kita semua memaklumi hal tersebut.

Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu ialah saya hendak melepaskan sebagian hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan RasulNya.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Biarkanlah untukmu sendiri sebahagian dari harta-hartamu itu, sebab yang sedemikian itu adalah lebih baik.” Saya menjawab: “Sebenarnya saya telah memperuntukkan bahagianku yang ada di tanah Khaibar.” Selanjutnya saya meneruskan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata benar, maka sebagai tanda taubatku pula ialah bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang sebenarnya saja selama kehidupanku yang masih tertinggal.” Demi Allah, belum pernah saya melihat seseorang pun dari kalangan kaum muslimin yang diberi cubaan oleh Allah تعالى dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang jadinya lebih baik dari yang telah diuji oleh Allah تعالى pada diriku sendiri. Demi Allah, saya tidak bermaksud akan berdusta sedikit pun sejak saya mengatakan itu kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sampai pada hariku ini dan sesungguhnya saya pun mengharapkan agar Allah تعالى senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang masih tertinggal untukku.”

Ka’ab berkata; “Kemudian Allah تعالى menurunkan wahyu yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubatnya Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikutinya – ikut berperang – dalam masa kesulitan – sampai di firmanNya yang berarti “Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Penyantun lagi Penyayang kepada mereka.

Lengkapnya ayat-ayat 117, 118 dan 119 dari surat at-Taubah itu artinya adalah sebagai berikut:

117. Sesungguhnya Allah tefah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang
mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. yaitu setelah hati sebagian dari mereka hampir menyimpang, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih Lagi Penyayang kepada mereka.

118. Allah juga menerima taubatnya tiga orang yang ditinggalkan di belakang sehingga bumi yang
luas terbentang ini terasa sempit oleh mereka dan mereka rasakan nafas mereka menjadi sesak. Mereka
mengetahui bahwa tidak ada tempat berlindung dari siksa Allah melainkan kepada Allah. Kemudian Allah
Juga Allah telah menerima taubat tiga orang yang ditinggalkan di belakang, sehingga terasa sempitlah bagi mereka bumi yang terbentang luas ini

– sampai di firmanNya yang berarti –

Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama orang-orang yang benar.”

(at-Taubah: 117-119)

Ka’ab berkata: “Demi Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan padaku sama sekali setelah saya memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk Agama Islam ini, yang kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi perkataan benarku yang saya sampaikan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, sebab saya tidak mendustainya, sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana kerusakan yang dialami oleh orang-orang yang berdusta – maksudnya ialah kerusakan agama bagi dirinya, akhlak dan lain-lain.

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata terburuk yang pernah diucapkan kepada seseorang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau kembali kepada mereka, supaya engkau dapat membiarkan mereka. Sebab itu berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnya mereka itu kotor dan tempatnya adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang mereka lakukan.

Mereka bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada mereka, tetapi biarpun engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak senang kepada kaum yang fasik itu.” (at- Taubah: 95-96)

Ka’ab berkata: “Kita semua bertiga ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang yang diterima oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu ketika mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka supaya setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah s.a.w. telah mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga Allah memberikan keputusan dalam peristiwa tersebut.”

Allah Ta’ala berfirman: “Dan juga kepada tiga orang yang ditinggalkan.” Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan firmanNya “Tiga orang yang ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari peperangan, tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang meninggalkan kita bertiga tadi dan menunda urusan kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang bersumpah dan mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikankan keuzuran masing-masing dan selanjutnya baginda صلى الله عليه وسلم, menerima alasan-alasan mereka tersebut.”

(Muttafaq ‘alaih)

Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم keluar untuk berangkat ke medan Peperangan Tabuk pada hari Khamis dan memang baginda صلى الله عليه وسلم suka keluar pada hari Khamis.”

Dalam riwayat lain disebutkan pula: ” Baginda صلى الله عليه وسلم tidak kembali dari sesuatu musafir melainkan pada waktu siang di dalam waktu dhuha dan jikalau baginda صلى الله عليه وسلم telah tiba, maka baginda akan memasuki masjid terlebih dahulu, kemudian bersembahyang dua rakaat lalu duduk di dalamnya.”

Keterangan:
menerima taubat mereka supaya mereka kembali – ke jalan yang benar -. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat lagi Penyayang.

119. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu semua itu bersama-sama orang-orang yang benar – kata-kata serta perbuatannya.

Secara jelasnya makna Khullifuu dalam ayat di atas itu ialah: ditangguhkannya tiga orang itu perihal dimaafkannya dan ditundanya untuk diterima taubatnya sehingga limapuluh hari limapuluh malam lamanya.

Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya ketiga-tiga orang di atas oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan sahabat-sahabatnya ketika tidak mengikuti perang Tabuk. Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang Tabuk dan berani bersumpah serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka macamnya, lalu dimaafkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan tidak ikut dipulaukan, tidak dapat dimasukkan dalam golongan “Tiga orang yang ditinggalkan” tersebut. Jadi diterima atau tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum dapat dipastikan kebenarannya, sebab yang Maha Mengetahui hanyalah Allah تعالى sendiri. Jelasnya kalau benar alasannya, tentulah dimaafkan oleh Allah, sedang kalau tidak, tentu saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu, apabila Allah tidak mengampuninya. Namun demikian, tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan juga telah diterima taubat mereka.

Rujukan:

Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawy (Terjemahan Salim Bahreisy). 1977. RIADHUS SHALIHIN 1. Bandung: PT ALMA’ARIF m.s 30 – 45.

Share/Save
Share/Save
Scroll to Top